Kasih orang tua lebih luas dan lebih dalam dari samudera manapun, tanpa batas untuk bisa di ukur. Do'a mereka mengiringi bingkai kehidupan. Mereka berikan yang terbaik dalam hal apapun khususnya demi keberhasilan-mu, jangan kecewakan mereka, walau mereka tidak pernah mengharapkan balasan, satu yang pasti BERHASIL-lah.

Jumat, 22 April 2011

maCam2 Qiraat al_qur`an

A.    PENGERTIAN AL-QIRA`AT
Berdasarkan etimologi (bahasa), qiraat merupakan kata jadian (mashdar) dari kata kerja qora`a (membaca), sedangkan berdasarkan pengertian terminologi (istilak), ada beberapa definisi yang diintrodis ulama, diantaranya :
1.      Menurut Az-Zarqoni:

          مذهب يذهب اليه امام من أئمة القرآء مخالفا به غيره فى النطق بالقرآن الكريم مع اتفاق الروايات و الطرق عنه سواء أكانت هذه المخالفة فى نطق الحروف أم فى نطق هيئاتها (الزرقاني)

Artinya :
“madzhab yang dianut oleh seseorang qira`at yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan Al-qur`an serta kesepakatan riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuk-bentuk.”  
2.  Menurut Ibn Al-Jazari
             “Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapakan kata-kata Al-qur`an dan                                                   perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.”
   3. Menurut Az-Zarkasyi
   “qiro`at adalah perbedaan (cara mengucapkan) lafadz-lafadz Al-qur`an, baik   menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tasqil (membertakan), dan atau yang lainnya
    
Perbedaan cara pendefinisian di  atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu bahwa ada beberapa cara melafalakan Al-Qur`an walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Nabi Muhammad SAW. Jadi, Qiraat adalah cara pengucapan lafaz-lafaz Alquran yang berkenaan dengan substansi lafaz, kalimat, ataupun dialek kebahasaan.



B.  LATAR BELAKANG MUNCULNYA PERBEDAAN QIRA`AT
1. Latar Belakang Historis
                                                Qira`at sebenarnya telah muncul sejak masa Nabi Muhammad SAW, walaupun pada saat itu qira`at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa riwayat yang dapat mendukung substansi ini salah satunya, yaitu :
Suatu ketika `Umar bin Khatab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim ketika membaca ayat Al-qur`an. `Umar merasa tidak puas terhadap bacaan Hisyam sewaktu membaca surat Al-Furqon. Menurut `Umar bacaan Hisyam itu tidak benar dan bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi keadanya. Namun, begitupula sebaliknya, Hisyam mengaskan bahwa bacaannya bersal dari Nabi. Seusai shlat, Hisyam diajak menghadap Nabi untuk melaporkan peristiwa tersebut. Kemudian Nabi menyuruh Hisyam mengulani bacaanya sewaktu solat tadi. Setelah Hisyam melakukannya, Nabi bersabda :
“Memang begitulah Al-Qur`an diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur`an ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu.”

                         Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira`at dimulai pada masa tabi`in, yaitu pada awal abad 11 H. Tatkala para Qori telah tersebar di berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan qiro`at gurunya daripada mangikuti qira`at imam-imam lainnya. Kebijakan Abu Bakar Siddiq yang tidak mau mamusnahkan mushaf-mushaf lain,selain yang telah disusun zaid bin tsabit, mempunyai andil besar dalam munculnya qira`ta yang kian beragam. Perlu dicatat bahwa mushaf-mushaf itu tidak berbeda dengan yang disusun Zaid bib Tsabit dan kawan-kawannya, kecuali dalam dua hal, yaitu kronologi surah dan sebagian bacaan yang merupakan penafsiran yang ditulis dengan lahjah tersendiri. Hal ini karena mushaf-mushaf itu merupakan catatan pribadi mereka masing-masing.
2. Latar belakang cara penyampaian (kaifiyat al-ada`)
                        Menurut analisis yang disampaikan Sayyid ahmad khalil, perbedaan qira`at itu bermula dari bagaimana seorang guru membacakan qira`at kepada murid-muridnya. Dan kalau diruntun, cara membaca Al-`qur`an yang berbeda-beda itu, seperti dalam kasus `Umar dan Hisyam, diperbolehkan oleh Nabi sendiri. Hal itu mendorong beberapa ulama mencoba merangkum bentuk-bentuk perbedaan cara melafalkan Al-qur`an itu sebagai berikut. Seperti :
a. Perbedaan dalam i`rab atau harokat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk    kalimat, misalnya pada Firman Allah berikut.   


Artinya :
 “…. (yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat    kikir…”
                                                                                                (Q.S. An-Nisa`[4]:37)
Kata al-bakhl yang berarti kikir disisni dapat dibaca fathah pada huruf ba`nya sehingga dibaca al-bakhl; dapat pula dibaca dommah pada ba` nya sehingga menjadi al-bukhl.
b. Perbedaan pada i`rob dan harokat (baris) kalimat sehingga mangubah maknanya, misalnya pada Firman Allah berikut.

Artinya :
“ya Tuhan kami jauhkanlah jarak perjalanan kami.”
                                                                                                     (Q.S. Saba`[34]:19)
          Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah di atas adalah ba`id karena statusnya sebagai fi`il amar; boleh juga dibaca ba`aada yang berarti kedududkannya menjadi fi`il madhi sehingga artinya telah jauh.
c. Perbedaan pada perubahan huruf tanpa perubahan i`rab dan bentuk tulisannya, sedangkan maknanya berubah, misalnya pada Firman Allah berikut :

artinya :
“…dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali.”
                                                                                                     (Q.S. Al-baqoroh [2]:259)
          Kata nunnsyizuha (kami menyusun kembali) yang ditulis dengan menggunakan huruf zay diganti dengan huruf ra` sehingga berubah bunyi menjadi nunsyiruha yang berarti kami hidupkan kembali.

C. Macam-Macam Qiraat Al-qur`an

Penulis kitab Al-itqon menyebutkan bahwa qira`ah itu ada yang muttawatir, masyuroh, ahad, syadz, dan mudarraj.         
                     Al-Qodhi Jalaluddin Al-Bulqini mengatakan : Qira`ah itu dibagi menajadi muttawatir, ahad, dan syadz. Adapun yang muttawatir adalah qira`ah sab`ah yang termasyhur. Sedangkan yang ahad adalah qira`ah tsalatsah (qira`ah tiga), dimana imam tiga ini merupakan pelengkap “imam sepuluh” pada qira`ah para sahabat. Dan yang syadz adalah qira`ah para tabi`in, seperti A`masy, Yahya bin Watsab, Ibnu Jubair dan lain sebagainya.
                      Adapun Qira`ah, ada qira`ah sab`ah, qira`ah asyr, adapula qira`ah arba`, `asyaroh (empat belas). Namun yang lebih unggul dan lebih termasyhur adalah qira`ah sab`ah. Qira`ah sab`ah ini disandarkan kepada imam tujuh yang telah dikenal. Mereka adalah Nafi`, Ashim, Hamzah, Abdulllah binAmir, Abdullah bin Katsir, Abu Amr bin Al-`ala`, dan Ali Al-kisa`i. Sedangkan qira`ah asyr` adalah qira`ah sab`ah (tujuh) di atas dan ditambah dengan Abu Ja`far, Ya`qub, dan Khalaf.
                      Adapun qira`ah arba` asyarah (empat belas) adalah sepuluh qira`ah di atas dan di tambah lagi dengan qira`ah Hasan Al-basri, Ibnu MUhish, Yahya Al-Yazidi, asy-Syanbudzi.

D. SYARAT-SYARAT QIRA`AT MU`TABARAH
     1. Sesuai dengan Rasmul Mushaf/Rasm Usmani
     2.  Sesuai dengan kaedah bahasa Arab
     3.  Sanadnya Mutawatir

E. PENGARUH QIRA`AT TERHADAP HASIL ISTINBATH HUKUM
     Ada dua pengaruh qira`at terhadap hasil istinbath hukum, yaitu :
1.    Perbedaan qira`at yang berpengaruh terhadap hasil istinbath hukum
                        Adapun perbedaan qira`at al-Qur`an yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum, dan berpengaruh terhadap istinbath hukum dikemukakan dengan beberapa contoh, salah satunya sebagai berikut :





”mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah :”haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang di perintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”  (Q.S Al-baqoroh:222)
                        Ayat tersebut merupakan larangan suami untuk berhubungan dengan isterinya yang dalam keadaan haid.
                        Sehubungan dengan ayat ini, para ulama telah sepakat tentang haramnya seorang suami melakukan hubungan seksual dengan istri yang sedang haid. Adapun batas larangan yang disebutkan dalam ayat tersebut yaitu sampai mereka (para istri) dalam keadaan suci kembali.
                        Sementara itu (dalam qira`at sab`ah) Hamzah,al-Kisa`i,dan `Ashim riwayat Syu`bah,membaca kata Yath-hurna dengan Yath-thohharna. Sedangkan Ibnu Kasir,Nafi`, Abu Amr, Ibn `Amir, dan `Ashim riwayat Hafsh,membaca Yathhurna.
                        Berdasarkan qira`at Yath-hurna, sebagian ulama menafsirkan ayat walataqrobuhunna hatta yathhurna dengan ”janganlah kamu bersetubuh dengan mereka, sampai mereka suci atau berhenti dari keluarnya darah haid mereka (ath-thuhru).
                        Sedangakan qira`at Yath-thohharna menunjukan, bahwa yang dimaksud dengan ayat walataqrobuhunna hatta yathhurna yaitu, janganlah kamu bersenggama dengan mereka, sampai mereka bersuci. Namun ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan at-tathohhuru, sebagian ulama menyatakan yang dimaksud adalah mandi. Sebagian  berpendapat yang dimaksud adalah berwudlu. Sebagian lagi mengatakan, bahwa yang diamaksud adalah mencuci atau membersihkan farji(kemaluan) tempat keluarnya darah haid. Dan adapula yang menyatakan membersihkan farji dan berwudlu.   
                        Dalam uraian di atas, tampak perbedaan qira`at mempengaruhi terhadap cara istinbath serta ketentuan hukum yang dihasilkannya,sebagaiamana perbedaan cara istinbath hukum antara imam Syafi`i dengan Imam Abu Hanifah.
     2. Perbedaan Qira`at yang tidak berpengaruh terhadap Istinbath hukum.
          Adapun perbedaan qira`at al-qur`an yang terdapat dalam qira`at sab`ah, akan tetapi tidak berpengaruh terhadap hasil istinbath hukum sebagi berikut :


”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut`ah, dan lepaskanlah mereka itu dengan cara sebaik-baiknya.” (Q.S Al-Ahzab: 49)
          Ayat di atas menjelaskan, bahwa seorang istri yang diceraikan oleh suaminya, dalam keadaan belum disetubuhi, maka tidak ada masa iddah baginya. Berkaitan dengan ayat di atas, Hamzah dan al-Kasa`i, membaca                      
          sementara Ibn Kasir, Abu `Amr, Ibn Amir, `Ashim dan Nafi`, membaca  
                        tanpa memnyebabkan perbedaan maksud atau ketentuan hukum yang terkandung di dalamnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More